dalam posting-an kali ini kita akan membahas bahasan
mengenai suatu hal yang sakral. Beberapa menyebutnya dengan cinta *etsaaaaaaah
Ada
satu poin dimana ada suatu pergulatan mengenai hukumnya pacaran, taaruf, dan
segala pernak perniknya lah. Sesaat tergelitik pemikiran saya,
"roman-romannya ada yang ngebet nih diangkatan", hahahah..
Salah
memiliki rasa cinta?
Tidak.
Memiliki perasaan terhadap lawan jenis merupakan suatu kewajaran. Karena dari
situlah kehidupan bermula, dari situlah berkembang peradaban, dari situlah
tumbuh sosialitas.
Lalu,
apa masalahnya?
Dalam
tulisan teman-teman saya, permasalahan timbul saat membahas mengenai pacaran.
Mengapa bisa? Karena konsep pacaran yang dipahami berbeda-beda. Bagi satu
pihak, pacaran tuh digambarkan sebagai aktivitas dua insan yang dimabuk asmara
secara bersama; jalan bareng, berkhalwat, dsb. Orang lain berkomentar pacaran
bisa saja hanya status, secara teknis hanya semacam "penge-tag-an"
saja untuk kelanjutan hubungan. Secara eksplisit, tak mungkin menemukan
pemecahan jika konsep dasarnya saja tak disamakan. Maka satu hal yang perlu
ditekankan adalah bagaimana kedua individu yang melakoni "titel" ini
melakukannya. Dan jelas tidak baik jika menjustifikasi apakah ini benar atau
salah secara sepihak.
Mungkin
di tulisan ini saya tidak mengemukakan lebih lanjut mengenai topik ini,
pacaran-taaruf-lalalala~ dalam konteks "pelaksanaannya". Saya akan
mencoba untuk memandangnya menjadi suatu konsep lain. Di sini saya memandangnya
menjadi suatu rangkaian cerita manusia.
Manusia
tidak sekonyong-konyong muncul di bumi ini. Berawal dari satu sel kecil yang
berkembang menjadi janin, yang kemudian lahir seorang bayi, yang tumbuh menjadi
kanak-kanak, kemudian berkembang sisi biologisnya menjadi remaja, semakin
matang menjadi orang dewasa, yang kemudian melapuk menjadi orang lanjut usia
dan berujung pada regenerasi. Runtutan itu merupakan ketetapan tuhan.Tak
terelakan,selalu terjamah dalam tiap insan.
Masa
remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak; yang total kehidupannya masih
berupa pengamatan terhadap lingkungan, menuju masa dewasa; yang semakin
kompleks dan butuh kematangan fisik dan psikis. Di masa remaja ini (banyak yang
menyebutnya pubertas), banyak perubahan signifikan terjadi. Secara biologis,
para remaja ini sudah matang untuk melanjutkan keberadaan manusia (baca: bisa
kawin~). Kegiatan hormonal juga berperan aktif dan cepat. Namun perkembangan
psikologis terkadang tidak sejalan; labil, emosional, dsb. Dan di titik ini lah
(yang tentunya dikatalisasi oleh teknologi) muncul suatu rasa yang tak biasa
dirasakan sebelumnya. Perasaan tertarik dengan orang lain, yang bukan dari
golongan keluarga, dan lawan jenis.
Dan
di masa remaja ini, para remaja sudah tidak hanya mengamati seperti anak-anak,
mereka mulai berpikir, mengkritisi keadaan. Bertanya pada hal prinisipis,
abstrak, yang kadang orang dewasa pun tak sanggup menjawab.Bukan tak sanggup
karena tak bisa, karena jawaban yang mestinya diberikan bukan berupa kata-kata,
tapi sesuatu yang akan dialami nantinya. Karena sikap kritis terhadap
lingkungan itulah, idealisme muncul. Itulah yang menyebabkan para remaja mudah
dipengaruhi, dirasuki ideologi, dan dialihkan pemikirannya. Penentunya banyak,
bisa dari kalangan teman, orang dilingkungan sekitar, dan yang paling mutakhir
adalah teknologi informasi (baca: internet dengan segala keriuhan
isinya).
Dan
biasanya para remaja mengkombinasikan semua aspek diatas untuk mengeksplor
sendiri atas apa yang ia rasakan. Cepat atau lambat, tiap remaja akan menemui
poin ini.
Pada
prinispnya,ini semua adalah rangkaian kehidupan manusia. Kita mengenalnya
sebagai proses. Dalam proses pasti ada tahapan, dan di tiap tahapan
memiliki keunikan, tantangan, dan sensasi tersendiri.
Proses,
yang membuat mawar tidak bisa mekar dalam semalam, karena untuk mencapainya
dibutuhkan matahari. Proses, yang membuat Roma tidak dibangun dalam sehari,
karena butuh penguatan secara internal dan ekspansi bertahun-tahun sebelum
terbangun kejayaan. Proses, yang tidak menyebabkan permainan ular tangga
selesai dalam selemparan dadu, karena ada 100 petak sebelum kemenangan didapat,
namun dadu hanya bermata paling banyak 6, belum lagi banyak hal sebelum permainan
berakhir. Ada kalanya kita melangkah setapak, melaju cepat, melompat
berpetak-petak, atau bahkan mundur kebelakang. Dan semakin jauh berjalan, akan
muncul kegigihan untuk mempertahankan yang sudah dibangun, dan disitu
dibutuhkan komitmen yang berbeda pula. Tidak hanya berusaha untuk segera
menuntaskan permainan, berbalapan dengan pemain lain bisa saja terjadi.
Dibutuhkan keseriusan (dan keberuntungan pula). Itu semua proses, membutuhkan
waktu.
Kita
semua ("kita" disini merujuk pada saya dan teman-teman lain yang
tergolong remaja) sedang pada proses ini. Rasa itu muncul? Bahkan berlebih? Ya
mungkin saja.
Nah,
memang terlihat majemuk dan ribet. Kalo gitu mari kita buat itu
simpel. Hidup itu emang teoritis, tapi kita ada dalam praktek. Maka jalani
saja dulu dengan yang ada. Ikuti alunan melodi kehidupan ini dengan harmonis.
Tiap tahap ada problematika tersendiri, hadapi. Karena sebetulnya dari situlah
kematangan akan muncul, dan pengalamanmu semakin kaya dengan bertemunya dengan
poin itu.