Sabtu, 12 September 2015

Ini Adalah Proses, Kawan!! ^_^



Dalam postingan kali ini, kita akan membahas bahasan mengenai suatu hal yang sakral. Beberapa menyebutnya dengan cinta *etsaaaaaaah

Ada satu poin dimana ada suatu pergulatan mengenai hukumnya pacaran, taaruf, dan segala pernak perniknya lah. Sesaat tergelitik pemikiran saya, "roman-romannya ada yang ngebet nih diangkatan", hahahah..

Salah memiliki rasa cinta? 
Tidak. Memiliki perasaan terhadap lawan jenis merupakan suatu kewajaran. Karena dari situlah kehidupan bermula, dari situlah berkembang peradaban, dari situlah tumbuh sosialitas. 

Lalu, apa masalahnya?
Dalam tulisan teman-teman saya, permasalahan timbul saat membahas mengenai pacaran. Mengapa bisa? Karena konsep pacaran yang dipahami berbeda-beda. Bagi satu pihak, pacaran tuh digambarkan sebagai aktivitas dua insan yang dimabuk asmara secara bersama; jalan bareng, berkhalwat, dsb. Orang lain berkomentar pacaran bisa saja hanya status, secara teknis hanya semacam "penge-tag-an" saja untuk kelanjutan hubungan. Secara eksplisit, tak mungkin menemukan pemecahan jika konsep dasarnya saja tak disamakan. Maka satu hal yang perlu ditekankan adalah bagaimana kedua individu yang melakoni "titel" ini melakukannya. Dan jelas tidak baik jika menjustifikasi apakah ini benar atau salah secara sepihak.

Mungkin di tulisan ini saya tidak mengemukakan lebih lanjut mengenai topik ini, pacaran-taaruf-lalalala~ dalam konteks "pelaksanaannya". Saya akan mencoba untuk memandangnya menjadi suatu konsep lain. Di sini saya memandangnya menjadi suatu rangkaian cerita manusia.

Manusia tidak sekonyong-konyong muncul di bumi ini. Berawal dari satu sel kecil yang berkembang menjadi janin, yang kemudian lahir seorang bayi, yang tumbuh menjadi kanak-kanak, kemudian berkembang sisi biologisnya menjadi remaja, semakin matang menjadi orang dewasa, yang kemudian melapuk menjadi orang lanjut usia dan berujung pada regenerasi. Runtutan itu merupakan ketetapan tuhan.Tak terelakan,selalu terjamah dalam tiap insan.

Masa remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak; yang total kehidupannya masih berupa pengamatan terhadap lingkungan, menuju masa dewasa; yang semakin kompleks dan butuh kematangan fisik dan psikis. Di masa remaja ini (banyak yang menyebutnya pubertas), banyak perubahan signifikan terjadi. Secara biologis, para remaja ini sudah matang untuk melanjutkan keberadaan manusia (baca: bisa kawin~). Kegiatan hormonal juga berperan aktif dan cepat. Namun perkembangan psikologis terkadang tidak sejalan; labil, emosional, dsb. Dan di titik ini lah (yang tentunya dikatalisasi oleh teknologi) muncul suatu rasa yang tak biasa dirasakan sebelumnya. Perasaan tertarik dengan orang lain, yang bukan dari golongan keluarga, dan lawan jenis.  

Dan di masa remaja ini, para remaja sudah tidak hanya mengamati seperti anak-anak, mereka mulai berpikir, mengkritisi keadaan. Bertanya pada hal prinisipis, abstrak, yang kadang orang dewasa pun tak sanggup menjawab.Bukan tak sanggup karena tak bisa, karena jawaban yang mestinya diberikan bukan berupa kata-kata, tapi sesuatu yang akan dialami nantinya. Karena sikap kritis terhadap lingkungan itulah, idealisme muncul. Itulah yang menyebabkan para remaja mudah dipengaruhi, dirasuki ideologi, dan dialihkan pemikirannya. Penentunya banyak, bisa dari kalangan teman, orang dilingkungan sekitar, dan yang paling mutakhir adalah teknologi informasi (baca: internet dengan segala keriuhan isinya). 

Dan biasanya para remaja mengkombinasikan semua aspek diatas untuk mengeksplor sendiri atas apa yang ia rasakan. Cepat atau lambat, tiap remaja akan menemui poin ini.

Pada prinispnya,ini semua adalah rangkaian kehidupan manusia. Kita mengenalnya sebagai proses. Dalam proses pasti ada tahapan, dan di tiap tahapan memiliki keunikan, tantangan, dan sensasi tersendiri. 

Proses, yang membuat mawar tidak bisa mekar dalam semalam, karena untuk mencapainya dibutuhkan matahari. Proses, yang membuat Roma tidak dibangun dalam sehari, karena butuh penguatan secara internal dan ekspansi bertahun-tahun sebelum terbangun kejayaan. Proses, yang tidak menyebabkan permainan ular tangga selesai dalam selemparan dadu, karena ada 100 petak sebelum kemenangan didapat, namun dadu hanya bermata paling banyak 6, belum lagi banyak hal sebelum permainan berakhir. Ada kalanya kita melangkah setapak, melaju cepat, melompat berpetak-petak, atau bahkan mundur kebelakang. Dan semakin jauh berjalan, akan muncul kegigihan untuk mempertahankan yang sudah dibangun, dan disitu dibutuhkan komitmen yang berbeda pula. Tidak hanya berusaha untuk segera menuntaskan permainan, berbalapan dengan pemain lain bisa saja terjadi. Dibutuhkan keseriusan (dan keberuntungan pula). Itu semua proses, membutuhkan waktu.

Kita semua ("kita" disini merujuk pada saya dan teman-teman lain yang tergolong remaja) sedang pada proses ini. Rasa itu muncul? Bahkan berlebih? Ya mungkin saja.

Nah, memang terlihat majemuk dan ribet. Kalo gitu mari kita buat itu simpel. Hidup itu emang teoritis, tapi kita ada dalam praktek. Maka jalani saja dulu dengan yang ada. Ikuti alunan melodi kehidupan ini dengan harmonis. Tiap tahap ada problematika tersendiri, hadapi. Karena sebetulnya dari situlah kematangan akan muncul, dan pengalamanmu semakin kaya dengan bertemunya dengan poin itu.

0 komentar:

Posting Komentar